Negeri Seribu Pulau adalah sebutan untuk Maluku. Di sana tersimpan pula 1.000 pesona dari aneka adat dan istiadatnya yang terbingkai dalam filosofi
Siwa Lima.
Siwa Lima adalah “jati diri” dalam budaya Maluku. Ditilik dari bahasa,
siwa berarti sembilan dan
lima/rima artinya lima. Makna filosofis kata ini dikenal di seluruh Maluku, walaupun dengan sebutan yang berbeda. Di Maluku Utara dikenal
Ulisiwa dan
Uli Lima. Maluku Tengah menyebutnya
Pata Siwa dan
Pata Lima. Maluku Tenggara menggunakan kata
Ur Siwa (Ursiw) dan
Ur Lima (Urlim).
Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Maluku ini, merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini. Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus didorong sehingga dapat menciptakan sinergitas yang andal bagi upaya bersama membangun Maluku Baru di masa mendatang. Pendukung kebudayaan di Maluku terdiri dari ratusan sub suku, yang terindikasi dari pengguna bahasa local yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada ±130 bahasa lokal.
Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik masyarakat yang multi kultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satu diantaranya adalah filosofi
siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama di Maluku. Dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki
common values dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku. Sebutlah pranata budaya seperti
Masohi, maren, swen, sasi, hawear, pela-gondong dsb. Adapun filosofi
siwalima dimaksud telah menjadi simbol identitas daerah, karena selama ini sudah menjadi logo dari Pemerintah Daerah Maluku. Siwalima adalah fisafat hidup yang holistik; filsafat itu pernah ada, dan senantiasa hidup dalam peradaban masyarakat Maluku.
Siwalima adalah pendekatan yang mempunyai posisi sentral dalam suatu susunan pendekatan yang berwatak jamak. Artinya, hanya di dalam pendekatan SiwaLima, pendekatan-pendekatan lainnya dimodulasikan dan berproses secara utuh dan dinamis untuk merencanakan pembangunan bagi rakyat di daerah Maluku, kemarin, hari ini dan yang akan datang.
Dalam konteks pembangunan daerah, nilai-nilai budaya lokal yang masih ada dan hidup di kalangan masyarakat, dapat dipandang sebagai modal sosial yang perlu dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah. Filsafat Hidup Masyarakat Setempat Manggurebe maju, lawamena hau lala, artinya bersatu membangun Maluku maju terus pantang mundur. Katong samua satu gandong satu jantung dan satu hati, artinya kita semua sekeluarga/saudara.
Sehubungan dengan kekayaan nilai budaya lokal yang hakekatnya bisa menginspirasi dinamika kehidupan bersama masyarakat di Maluku yang berciri majemuk, maka siwa lima diyakini merupakan puncak-puncak nilai budaya – the ultimate values yang dapat memayungi interaksi lintas identitas asal yang berbeda-beda di Maluku.
Namun, dengan adanya perkembangan kontemporer disatu sisi dan lunturnya pemahaman dan pengetahuan tentang sejarah terutama bagi generasi muda pada sisi yang lain, maka nilai-nilai sosial tersebut diatas juga mengalami sebuah proses distorsi yang menyebabkan pengaburan makna, yang pada gilirannya nanti akan melemahkan semangat Manggurebe maju, lawamena hau lala, bahkan akan menjadi sebuah akar permasalahan baru yang nantinya menghambat proses pembangunan di Maluku secara berkelanjutan. Tantangannya ialah, bagaimana melakukan rekonstruksi nilai-nilai budaya yang fungsional terhadap kepentingan pembangunan daerah baik pada aras kabupaten/kota maupun provinsi Maluku.